SEJAK dulu kota Jakarta memang unik. Ia memiliki berbagai kekhususan
karateristik yang membedakannya dengan daerah lain. Sejak purbakala
Jakarta telah menjadi simpul pertemuan beragam etnik, aliran politik,
agama, dan budaya. Bahkan menjadi wahana peleburan (melting pot)
berbagai aliran tersebut yang pada akhirnya melahirkan sesuatu yang baru
menjadi ciri khas masyarakat di wilayah ini.
Salah satu yang khas dari Jakarta adalah format penyelenggaraan pemerintahannya yang berstatus “khusus” sehingga relatif independen dari kekuasaan pemerintah daerah di sekitarnya, namun kerap ditangani langsung oleh pemerintah pusat.
Dewasa ini, kekhususan secara normatif ditegaskan dalam ketentuan perundang-undangan berupa status sebagai “Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia.” Namun sejatinya, kekhususan itu sudah melekat pada Jakarta dari abad ke abad. Memang, pada masa Kerajaan Tarumanegara, Jakarta adalah salah satu pelabuhan laut (bandar) yang berada dibawah kekuasaan Raja Purnawarman. Namun, tidak banyak bukti sejarah yang dapat menjelaskan besarnya hegemoni raja atas masyarakat yang mendiami bandar yang disebut Sunda Kalapa.
Tampaknya, hal sama juga terjadi saat kota pelabuhan ini berada dibawah payung kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Bahkan, hingga Fatahillah merebut Sunda Kalapa dan kemudian melekatkan nama baru “Jayakarta” pada 22 Juni 1527, pemerintah dan masyarakat yang berdiam di muara daerah aliran sungai Ciliwung ini tetap independen baik dalam pemerintahan, maupun dalam aspek sosial budaya. Hal ini setidaknya tercermin dari tipisnya pengaruh kekuasaan dan kebudayaan Kesultanan Banten terhadap masyarakat Jakarta.
Begitu pula, ketika pada abad ke 16, kolonialis Belanda merebut kota Jakarta dan mematrikan nama Batavia, dinamika kehidupan masyarakat di Jakarta tetap tumbuh berkembang sebagaimana biasa, tidak terkooptasi secara penuh oleh penguasa yang datang dari belahan Eropa ini. Bahkan sepanjang sejarahnya, penguasa yang datang silih berganti memperlakukan Jakarta secara khusus baik dalam hal pembangunan mau pun pemerintahan.
Menyimak beberapa sumber sejarah terlihat bahwa, perlakuan khusus oleh penguasa kolonial terhadap kota Batavia telah melambungkan popularitas kota ini di mata dunia. Ia pun memperoleh julukan ”Ratu dari Timur” (Koningen van het Oosten), karena keindahannya. Tapi dalam perkembangannya, daya pikat kota Jakarta pula yang menjadi akar penyebab kesemrawutan pada masa-masa berikutnya.
Derasnya arus urbanisasi ke Jakarta telah menyebabkan kota kian kehilangan daya dukung dan daya tampungnya. Sebab dari daerah yang mengalir ke Jakarta, tidak hanya rombongan manusia belaka, tapi juga dengan setumpuk permasalahan yang membebani kehidupan mereka selama ini.
Bagi yang menganggur tentu tujuan kedatangannya ke Jakarta adalah memburu lapangan pekerjaan, bagi pegawai pemerintah tentu untuk mengejar jenjang karir lebih tinggi, bagi mahasiswa dari daerah tentu untuk meraih pendidikan, begitu pula dengan yang lain. Bahkan, perpindahan preman, pelacur dan pelaku kejahatan dari daerah ke Jakarta, begitu pula terjadinya mobilitas vertikal kualitatif premanitas di Jakarta karena didorong oleh keinginan mendapatkan sesuatu yang lebih tinggi dibanding dengan yang diperoleh selama ini di daerah masing-masing.
Laju perkembangan kota Jakarta yang sangat cepat tidak hanya mengubah kota metropolitan ini menjadi kota megapolitan, tapi juga menjadikannya sebagai kota “hyper-city ” yang kerap disebut “macrocephaly” atau kota dengan kepala yang membesar. Dengan jumlah penduduk lebih dari 9 juta jiwa yang bertumpuk dalam satu ruang wilayah yang terbatas dan daya dukung serta daya tampung yang tidak memadai suasana kehidupan kota pun menjadi sangat tidak sehat. Fenomena “sick city, sick people, sick world”, dengan kasat mata telah terlihat di ibukota Jakarta. Sebab tatanan kota serta dinamika kehidupan perkotaannya telah menjadi sumber ketegangan dan stress, sebagai sumber penyakit dalam pembangunan nasional. Kenyataan ini jelas paradoks dengan kondisi Jakarta dimasa lampau, saat masih bernama Batavia, yang oleh dunia mendapat julukan sebagai ”Ratu dari Timur.”
Berbagai upaya untuk mengurai permasalahan yang dihadapi oleh Jakarta dari waktu ke waktu terus mengalir deras. Namun, tampak semuanya cenderung bersifat sektoral dan parsial sehingga cenderung melahirkan masalah baru ketimbang menyuguhkan solusi fundamental. Apalagi, sebagian besar beban yang ditanggung oleh Jakarta justru merupakan limpasan permasalahan berskala nasional. Karena itu, tidaklah bijak jika segala beban pembangunan Jakarta hanya diletakkan pada pundak pemerintah daerah. Sebab, Jakarta jelas tidak akan mampu mengatasi berbagai limpahan permasalahan yang sebenarnya bersumber di daerah lain. Dengan kata lain, sudah seharusnya Pemerintah Pusat ikut proaktif terlibat mengatasi berbagai permasalahan itu bersama-sama dengan Pemerintah Kota Jakarta.
Status ”Khusus”
Keikutsertaan tanggung jawab pemerintah pusat dalam pembangunan kota Jakarta, sesungguhnya bukan hal baru. Sebab sesungguhya hal itu sudah berlaku jauh sejak masa penjajahan. Menyatunya Pemerintah Kota Jakarta di dalam kesatuan Pemerintah Kolonial Belanda sudah terjadi sejak pada 4 Maret 1621 Pemerintah Kolonial Belanda untuk pertama kali membentuk Pemerintah Kota yang dinamakan “Stad Batavia.”
Bahkan dalam perkembangan berikutnya, wilayah otoritas Pemerintah Kota Jakarta diperluas, ketika pemerintah kolonal Belanda membentuk “Keresidenan Batavia” meliputi wilayah afdeling Batavia dan wilayah pinggiran kota, serta wilayah-wilayah Afdeling Meester Cornelis (Jatinegara), Afdeling Tangerang, Afdeling Buitenzorg (Bogor) dan Afdeling Krawang. Lau, untuk meningkatkan peran pemerintah kota, pada 1 April 1905, pemerintah kolonial membentuk “’Gemeente Batavia,” sebagai institusi pemerintahan yang secara khusus mengelola pembangunan kota Jakarta. Untuk mengimbangi perkembangan kota, pada 8 Januari 1935, badan tersebut disempurnakan menjadi ”Stad Gemeente Batavia.“ Lalu, pada 8 Agustus 1942 penjajah Jepang mengubah sebutan pemerintah kota menjadi “Jakarta Teku Betsu Shi.”
Setelah Indonesia merdeka, pada awal September 1945 Pemerintah RI langsung membentuk Pemerintah Kota Jakarta dengan nama “Pemerintah Nasional Kota Jakarta, ” yang kemudian pada 20 Januari 1950 oleh Pemerintah Pre Federal (RIS) diubah menjadi “Stad Gemeente Batavia,” namun pada 24 Maret 1950 kembali diubah menjadi Pemerintah Kota Praja Jakarta.
Dalam kedudukannya sebagai Daerah Swatantra maka 18 Januari 1958 pemerintahannya pun disebut Pemerintah Kota Praja Djakarta Raya. Kemudian pada tahun 1961 dengan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1961 jo UU No. 2 PNPS 1961 dibentuk Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.
Sedangkan penetapan Kota Jakarta sebagai Ibukota RI, baru dikukuhkan pada 31 Agustus 1964 yakni dengan UU No. 10 tahun 1964 dengan nama “Jakarta.” Dan sejak tahun 1999, melalui UU No 34 tahun 1999 tentang pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, maka sebutan pemerintah daerah berubah menjadi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dengan kekhususan otonominya tetap berada ditingkat provinsi, tidak pada wilyah kota seperti di daerah lain. Selain itu wilayah DKI Jakarta dibagi menjadi 6 wilayah yakni 5 wilayah kotamadya dan satu kabupaten administratif kepulauan seribu. (LS2LP)
Paulus Londo
Pemerhati Sosial pada LS2LP
(Lembaga Studi Sosial, Lingkungan @ Perkotaan)
Salah satu yang khas dari Jakarta adalah format penyelenggaraan pemerintahannya yang berstatus “khusus” sehingga relatif independen dari kekuasaan pemerintah daerah di sekitarnya, namun kerap ditangani langsung oleh pemerintah pusat.
Dewasa ini, kekhususan secara normatif ditegaskan dalam ketentuan perundang-undangan berupa status sebagai “Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia.” Namun sejatinya, kekhususan itu sudah melekat pada Jakarta dari abad ke abad. Memang, pada masa Kerajaan Tarumanegara, Jakarta adalah salah satu pelabuhan laut (bandar) yang berada dibawah kekuasaan Raja Purnawarman. Namun, tidak banyak bukti sejarah yang dapat menjelaskan besarnya hegemoni raja atas masyarakat yang mendiami bandar yang disebut Sunda Kalapa.
Tampaknya, hal sama juga terjadi saat kota pelabuhan ini berada dibawah payung kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Bahkan, hingga Fatahillah merebut Sunda Kalapa dan kemudian melekatkan nama baru “Jayakarta” pada 22 Juni 1527, pemerintah dan masyarakat yang berdiam di muara daerah aliran sungai Ciliwung ini tetap independen baik dalam pemerintahan, maupun dalam aspek sosial budaya. Hal ini setidaknya tercermin dari tipisnya pengaruh kekuasaan dan kebudayaan Kesultanan Banten terhadap masyarakat Jakarta.
Begitu pula, ketika pada abad ke 16, kolonialis Belanda merebut kota Jakarta dan mematrikan nama Batavia, dinamika kehidupan masyarakat di Jakarta tetap tumbuh berkembang sebagaimana biasa, tidak terkooptasi secara penuh oleh penguasa yang datang dari belahan Eropa ini. Bahkan sepanjang sejarahnya, penguasa yang datang silih berganti memperlakukan Jakarta secara khusus baik dalam hal pembangunan mau pun pemerintahan.
Menyimak beberapa sumber sejarah terlihat bahwa, perlakuan khusus oleh penguasa kolonial terhadap kota Batavia telah melambungkan popularitas kota ini di mata dunia. Ia pun memperoleh julukan ”Ratu dari Timur” (Koningen van het Oosten), karena keindahannya. Tapi dalam perkembangannya, daya pikat kota Jakarta pula yang menjadi akar penyebab kesemrawutan pada masa-masa berikutnya.
Derasnya arus urbanisasi ke Jakarta telah menyebabkan kota kian kehilangan daya dukung dan daya tampungnya. Sebab dari daerah yang mengalir ke Jakarta, tidak hanya rombongan manusia belaka, tapi juga dengan setumpuk permasalahan yang membebani kehidupan mereka selama ini.
Bagi yang menganggur tentu tujuan kedatangannya ke Jakarta adalah memburu lapangan pekerjaan, bagi pegawai pemerintah tentu untuk mengejar jenjang karir lebih tinggi, bagi mahasiswa dari daerah tentu untuk meraih pendidikan, begitu pula dengan yang lain. Bahkan, perpindahan preman, pelacur dan pelaku kejahatan dari daerah ke Jakarta, begitu pula terjadinya mobilitas vertikal kualitatif premanitas di Jakarta karena didorong oleh keinginan mendapatkan sesuatu yang lebih tinggi dibanding dengan yang diperoleh selama ini di daerah masing-masing.
Laju perkembangan kota Jakarta yang sangat cepat tidak hanya mengubah kota metropolitan ini menjadi kota megapolitan, tapi juga menjadikannya sebagai kota “hyper-city ” yang kerap disebut “macrocephaly” atau kota dengan kepala yang membesar. Dengan jumlah penduduk lebih dari 9 juta jiwa yang bertumpuk dalam satu ruang wilayah yang terbatas dan daya dukung serta daya tampung yang tidak memadai suasana kehidupan kota pun menjadi sangat tidak sehat. Fenomena “sick city, sick people, sick world”, dengan kasat mata telah terlihat di ibukota Jakarta. Sebab tatanan kota serta dinamika kehidupan perkotaannya telah menjadi sumber ketegangan dan stress, sebagai sumber penyakit dalam pembangunan nasional. Kenyataan ini jelas paradoks dengan kondisi Jakarta dimasa lampau, saat masih bernama Batavia, yang oleh dunia mendapat julukan sebagai ”Ratu dari Timur.”
Berbagai upaya untuk mengurai permasalahan yang dihadapi oleh Jakarta dari waktu ke waktu terus mengalir deras. Namun, tampak semuanya cenderung bersifat sektoral dan parsial sehingga cenderung melahirkan masalah baru ketimbang menyuguhkan solusi fundamental. Apalagi, sebagian besar beban yang ditanggung oleh Jakarta justru merupakan limpasan permasalahan berskala nasional. Karena itu, tidaklah bijak jika segala beban pembangunan Jakarta hanya diletakkan pada pundak pemerintah daerah. Sebab, Jakarta jelas tidak akan mampu mengatasi berbagai limpahan permasalahan yang sebenarnya bersumber di daerah lain. Dengan kata lain, sudah seharusnya Pemerintah Pusat ikut proaktif terlibat mengatasi berbagai permasalahan itu bersama-sama dengan Pemerintah Kota Jakarta.
Status ”Khusus”
Keikutsertaan tanggung jawab pemerintah pusat dalam pembangunan kota Jakarta, sesungguhnya bukan hal baru. Sebab sesungguhya hal itu sudah berlaku jauh sejak masa penjajahan. Menyatunya Pemerintah Kota Jakarta di dalam kesatuan Pemerintah Kolonial Belanda sudah terjadi sejak pada 4 Maret 1621 Pemerintah Kolonial Belanda untuk pertama kali membentuk Pemerintah Kota yang dinamakan “Stad Batavia.”
Bahkan dalam perkembangan berikutnya, wilayah otoritas Pemerintah Kota Jakarta diperluas, ketika pemerintah kolonal Belanda membentuk “Keresidenan Batavia” meliputi wilayah afdeling Batavia dan wilayah pinggiran kota, serta wilayah-wilayah Afdeling Meester Cornelis (Jatinegara), Afdeling Tangerang, Afdeling Buitenzorg (Bogor) dan Afdeling Krawang. Lau, untuk meningkatkan peran pemerintah kota, pada 1 April 1905, pemerintah kolonial membentuk “’Gemeente Batavia,” sebagai institusi pemerintahan yang secara khusus mengelola pembangunan kota Jakarta. Untuk mengimbangi perkembangan kota, pada 8 Januari 1935, badan tersebut disempurnakan menjadi ”Stad Gemeente Batavia.“ Lalu, pada 8 Agustus 1942 penjajah Jepang mengubah sebutan pemerintah kota menjadi “Jakarta Teku Betsu Shi.”
Setelah Indonesia merdeka, pada awal September 1945 Pemerintah RI langsung membentuk Pemerintah Kota Jakarta dengan nama “Pemerintah Nasional Kota Jakarta, ” yang kemudian pada 20 Januari 1950 oleh Pemerintah Pre Federal (RIS) diubah menjadi “Stad Gemeente Batavia,” namun pada 24 Maret 1950 kembali diubah menjadi Pemerintah Kota Praja Jakarta.
Dalam kedudukannya sebagai Daerah Swatantra maka 18 Januari 1958 pemerintahannya pun disebut Pemerintah Kota Praja Djakarta Raya. Kemudian pada tahun 1961 dengan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1961 jo UU No. 2 PNPS 1961 dibentuk Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.
Sedangkan penetapan Kota Jakarta sebagai Ibukota RI, baru dikukuhkan pada 31 Agustus 1964 yakni dengan UU No. 10 tahun 1964 dengan nama “Jakarta.” Dan sejak tahun 1999, melalui UU No 34 tahun 1999 tentang pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, maka sebutan pemerintah daerah berubah menjadi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dengan kekhususan otonominya tetap berada ditingkat provinsi, tidak pada wilyah kota seperti di daerah lain. Selain itu wilayah DKI Jakarta dibagi menjadi 6 wilayah yakni 5 wilayah kotamadya dan satu kabupaten administratif kepulauan seribu. (LS2LP)
Paulus Londo
Pemerhati Sosial pada LS2LP
(Lembaga Studi Sosial, Lingkungan @ Perkotaan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar