Allen
Lawrence Pope adalah seorang tentara bayaran yang ditugasi CIA dalam
berbagai misi. Beberapa misinya dilakukan di Asia Tenggara di antaranya
saat pertempuran di Dien Bien Phu, Vietnam dan pada saat pemberontakan
PRRI/Permesta di Indonesia. Dia tertangkap oleh tentara Indonesia ketika
usahanya mengebom armada gabungan Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia dengan pesawat pembom B-26 Invader AUREV gagal dan tertembak
jatuh. Diduga dia tertembak jatuh oleh pesawat P-51 Mustang Angkatan
Udara Republik Indonesia yang diterbangkan oleh Ignatius Dewanto namun
kesaksian lain mengatakan dia tertembak jatuh oleh tembakan gencar yang
dilakukan armada laut Angkatan Laut Republik Indonesia. Buku-buku yang
menuliskan sepak terjang CIA di berbagai kancah konflik tidak lupa
menyebut-nyebut nama Allen Pope.
Pope
kemudian ditugasi sebagai pilot AUREV (Angkatan Udara Revolusioner)
yang berpangkalan utama di Mapanget, Sulawesi Utara (sekarang Bandara
Sam Ratulangi) di bawah pimpinan Mayor Petit Muharto. AUREV sendiri
berkekuatan tidak kurang sekitar 10 pesawat pengebom-tempur di antaranya
adalah pesawat pengebom sedang/ringan B-26 Invader dan P-51Mustang.
CIA sendiri sebenarnya sudah menyediakan 15 pesawat pengebom B-26 untuk PRRI/PERMESTA dari sisa-sisa Perang Korea, setelah dipergunakan di berbagai konflik di Kongo, Kuba dan Vietnam. Pesawat-pesawat itu disiagakan di sebuah lapangan terbang di Filipina, tempat yang juga digunakan untuk melatih para awak sebelum dikirim ke wilayah PERMESTA. Sejumlah modifikasi dilakukan agar tidak terlalu kelihatan bahwa mereka disiapkan oleh Amerika Serikat yang memiliki teknologi maju. Di antara modifikasi yang dilakukan adalah mengubah jumlah senapan mesin yang semula memiliki enam laras pada hidung pesawat, menjadi delapan laras.Pada tanggal 18 Mei 1958, Gugus Tugas amfibi (Amphibius task force) ATF-21 Angkatan Laut Republik Indonesia yang berkekuatan dua kapal angkut dan lima kapal pelindung type penyapu ranjau cepat, dipimpin oleh Letnan Kolonel (KKO/sekarang Korps Marinir) Hunholz dengan Kepala Staf Mayor Soedomo berlayar dengan posisi dekat Pulau Tiga lepas Ambon guna melaksanakan Operasi Mena II dalam rangka menuntaskan konflik PERMESTA dengan sasaran Morotai guna merebut lapangan terbang, operasi itu didukung oleh P-51 Mustang dan B-26 Angkatan Udara Republik Indonesia serta Pasukan Gerak Tjepat (PGT, sekarang Kopaskhas TNI AU). Pasukan yang turun antara lain gabungan Marinir, Pasukan Angkatan Darat KODAM BRAWIJAYA dan Brigade Mobil (BRIMOB). Di atas kapal disiagakan senjata penangkis udara berbagai type.
Tiga
minggu sebelum Allen Pope ditembak jatuh, sebagai upaya cuci tangan
Amerika Serikat (AS), maka Menteri Luar Negeri AS , John Foster Dulles
lantang menyatakan bahwa apa yang terjadi di Sumatera adalah urusan
dalam negeri Indonesia. AS tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri
negara lain. Mengenai senjata-senjata yang terbilang mutakhir di tangan
PRRI dan di Pekanbaru, Presiden AS, Dwight David Eisenhower mengadakan
jumpa pers dengan memberi keterangan bahwa AS akan tetap netral dan
tidak akan berpihak selama tidak ada urusannya dengan AS. Dikatakannya
bahwa senjata-senjata yang ditemukan oleh ABRI adalah senjata-senjata
yang mudah ditemukan di pasar gelap dunia. Di samping itu, sudah biasa
di mana ada konflik pasti akan ditemukan tentara bayaran. Apa yang
dikatakan Eisenhower kemudian jadi arahan. Ketika kemudian terdengar ada
penerbang AS tertangkap di Ambon dan bagaimana ia tertangkap, Duta
Besar Amerika Serikat di Jakarta cepat-cepat menimpali bahwa orang itu
tentara bayaran.
Setelah
John F. Kennedy menjadi Presiden Amerika Serikat, hubungan Amerika
Serikat dengan Presiden Soekarno mengalami perbaikan. Presiden Soekarno
sendiri mengatakan bahwa hanya dialah presiden AS yang mengerti jalan
pikirannya. Pemerintah Amerika Serikat berusaha juga untuk membebaskan
Allen Pope.Menurut Harry Rantung, suatu hari menjelang subuh pada
Februari 1962 pope di bebaskan
CIA sendiri sebenarnya sudah menyediakan 15 pesawat pengebom B-26 untuk PRRI/PERMESTA dari sisa-sisa Perang Korea, setelah dipergunakan di berbagai konflik di Kongo, Kuba dan Vietnam. Pesawat-pesawat itu disiagakan di sebuah lapangan terbang di Filipina, tempat yang juga digunakan untuk melatih para awak sebelum dikirim ke wilayah PERMESTA. Sejumlah modifikasi dilakukan agar tidak terlalu kelihatan bahwa mereka disiapkan oleh Amerika Serikat yang memiliki teknologi maju. Di antara modifikasi yang dilakukan adalah mengubah jumlah senapan mesin yang semula memiliki enam laras pada hidung pesawat, menjadi delapan laras.Pada tanggal 18 Mei 1958, Gugus Tugas amfibi (Amphibius task force) ATF-21 Angkatan Laut Republik Indonesia yang berkekuatan dua kapal angkut dan lima kapal pelindung type penyapu ranjau cepat, dipimpin oleh Letnan Kolonel (KKO/sekarang Korps Marinir) Hunholz dengan Kepala Staf Mayor Soedomo berlayar dengan posisi dekat Pulau Tiga lepas Ambon guna melaksanakan Operasi Mena II dalam rangka menuntaskan konflik PERMESTA dengan sasaran Morotai guna merebut lapangan terbang, operasi itu didukung oleh P-51 Mustang dan B-26 Angkatan Udara Republik Indonesia serta Pasukan Gerak Tjepat (PGT, sekarang Kopaskhas TNI AU). Pasukan yang turun antara lain gabungan Marinir, Pasukan Angkatan Darat KODAM BRAWIJAYA dan Brigade Mobil (BRIMOB). Di atas kapal disiagakan senjata penangkis udara berbagai type.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar